Sabtu, 24 November 2012

Mengenal ’Hak Spiritual’ : Kebutuhan Universal bagi Setiap Konsumen


Mengenal ’Hak Spiritual’ :
Kebutuhan Universal bagi Setiap Konsumen[1]

Ro’fah Setyowati

Pengambilan istilah ‘hak spiritual’ dalam kajian ini terinspirasi sekaligus mengacu pada hak-hak lain, seperti antara lain hak ekonomi, hak politik, hak lingkungan, hak perdata dan lain sebagainya. Meskipun dalam tataran pengertian, ‘hak spiritual’ mudah untuk difahami, namun sebagai suatu kesatuan istilah, relatif ‘baru’.[2] Oleh karen itu, penting untuk diperkenalkan kepada masyarakat tentang beberapa hal terkait dengan hak spiritual ini, mengingat, hak ini merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat sebagai pribadi maupun sebagai konsumen, khususnya di lingkungan masyarakat yang menjunjung tinggi aspek spiritualitas seperti Indonesia salah satunya.
Spiritualitas manusia merupakan suatu aspek manusia yang bersifat universal. Guna mendapatkan pemahaman lebih lengkap tentang ‘spiritual’, dapat memanfaatkan dua pendekatan makna. Secara morfologis, ‘spiritual’ berdekatan dengan makna persembahan, dimensi supranatural, berbeda dengan dimensi fisik, perasaan atau pernyataan jiwa, sesuatu yang suci, pemikiran yang intelektual dan berkualitas, adanya perkembangan pemikiran dan perasaan, adanya perasaan humor, ada perubahan hidup dan berhubungan dengan organisasi keagamaan. Sedangkan berdasarkan etimologinya, spiritual berarti sesuatu yang mendasar, penting, dan mampu menggerakkan serta memimpin cara berpikir dan bertingkah laku seseorang. Jika kedua pemaknaan tersebut dipadukan, dapat diambil benang merah pemaknaan spiritual sebagai kebutuhan manusia terhadap sesuatu yang lebih besar dan kuat sehingga mampu menggerakkan, lebih baik dan suci sehingga layak untuk  dari diri manusia itu. ’spirit’ atau semangat yang demikian mencakup inner life individu, seperti idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan dan pengharapannya terhadap dzat Yang Mutlak. Spiritualitas juga termasuk bagaimana individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pemaknaan terhadap ‘spiritualitas’, Jalaludin Rahmat[3] mempunyai pandangan tentang relevansi kuat antara spiritual dengan keberagamaan. Hal ini bisa dilihat dari aspek-aspek spiritual yang dinyatakannya mempunyai cakupan:
  1. Aspek ideologis  adalah seperangkat kepercayaan (belief) yang memberikan premis aksistensial.
  2. Aspek ritualistik adalah aspek pelaksanaan ritual/ibadah suatu agama.
  3. Aspek eksperiensial adalah bersifat afektif : keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama, yang membawa pada religious feeling.
  4. Aspek intelektual adalah pengetahuan agama : seberapa jauh tingkat melek agama pengikut agama yang bersangkutan, tingkat ketertarikan penganut agama untuk mempelajari agamanya.
  5. Aspek konsekuensial, disebut juga aspek sosial. Aspek ini merupakan implementasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama sehingga dapat menjelaskan efek ajaran agama terhadap, seperti etos kerja, kepedulian, persaudaraan, dan lain sebagainya.
Dua aspek yang pertama merupakan aspek kognitif keagamaan. Dua yang terakhir merupakan aspek behavioral, dan yang lainnya merupakan aspek afektif keberagaman. Makna-makna di atas menunjukkan bahwa aspek spiritual menunjuk pada perspektif agama terhadap sustu hal. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan kebutuhan konsumen, maka yang dimaksud ‘hak spiritual’ konsumen adalah hak yang dilandaskan pada ajaran agama konsumen yang bersangkutan. Dalam skop kajian berkait dengan perbankan syariah, maka konsumen yang dimaksud dalam hal ini adalah konsumen muslim yang menjadi sasaran awal didirikannya perbankannya syariah, meskipun pada perkembangannya, konsumen perbankan syariah telah meluas hingga cukup banyak nasabah beragama non muslim.
Dalam Surah al Baqarah ayat 168 yang menyatakan: “Wahai sekalian manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal[1] lagi baik, dan janganlah kamu ikut jejak langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” Selain itu, dalam hadith yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir r.a :
Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, sambil Nukman memegang kedua belah telinganya: Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara haram itupun jelas. Manakala di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhah yang tidak diketahui oleh banyak orang. Oleh itu barangsiapa menjaga diri dari perkara syubhah, dia telah bebas (dari kecaman) untuk agamanya dan kehormatannya dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhah, bererti dia telah terjerumus ke dalam perkara haram, seperti pengembala yang mengembala di sekitar kawasan larangan, maka kemungkinan besar binatangnya akan memasuki kawasan tersebut....
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut di atas, bagi seorang Muslim, “spirit” kehidupannya lebih banyak bersumber dari keyakinan agama Islam itu sendiri. Oleh karena itu, persoalan spiritual sangat penting bagi masyarakat yang memegang teguh keyakinan yang berdasarkan pada agama. Rasionalitas dari ‘hak spiritual’ yang bersumberkan ajaran agama antara lain disebabkan setiap ajaran agama mempunyai ketentuan atau ajaran baik berbentuk perintah maupun larangan. Dalam hal perintah agama, kewajiban pemeluk agama ialah mengikuti, sedangkan dalam hal larangan maka bentuk kewajibannya adalah menghindari. Kewajipan ini berlaku di mana saja dan kapan saja, artinya tanpa memandang tempat dan waktu. Oleh karena itu, hal yang demikian dapat dikatakan sebagai kebutuhan universal yang melekat pada setiap konsumen yang mengamalkan agama sehingga hal demikian menjadi hak yang semestinya mendapat perlindungan pula. Hal ini disebabkan pengabaian terhadap aspek spiritual sebagai hak konsumen ini banyak terjadi,[4] khususnya yang berkaitan dengan agama Islam.[5] Hal sedemikian sangat merugikan kepentingan konsumen khususnya Muslim.[6] Berdasarkan rasional yang menjustifikasi aspek spiritual yang bersumberkan kepada agama di atas, maka konsumen Muslim mempunyai keperluan khusus terhadap barang/jasa yang digunakan mesti sesuai dengan keyakinan agama.
            Pada asasnya kepentingan yang bersifat spiritual ini tidak hanya bagi konsumen Muslim. Perkara demikian seperti konsumen beragama Hindu di India yang tidak memakan makanan yang mengandung daging sapi (lembu). Maka jika terdapat pengusaha yang tidak memberi perhatian dalam perkara ini, para konsumen mempunyai hak spiritual meskipun dengan cara yang paling mudah bagi mereka.[7]
            Dari fenomena yang ada menggambarkan bahwa pada kenyatannya masih banyak pengusaha yang tidak memberi perhatian terhadap kepentingan konsumen berkait dengan aspek spiritual ini. Oleh karena itu, kebutuhan konsumen yang demikian perlu mendapat perlindungan dan diperjuangkan.[8]     Dalam konteks perlindungan konsumen, perlu diberikan penekanan pada kepentingan aspek spiritual konsumen bagi yang beragama Islam. Hal ini mengingat setiap Muslim mempunyai kewajiban menghindarkan diri dari sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Dengan demikian, dalam konsep yang luas, permasalahan halal dan toyib tidak hanya berlaku dalam konteks makanan, melainkan pada semua aspek kehidupan seseorang Muslim. Oleh karenanya, termasuk pula kesesuaian dengan prinsip syariah dalam beraktivitas dalam bidang perbankan. Hal yang demikian telah menjadi kesadaran yang menggerakkan hingga didirikannya lembaga perbankan Islam di berbagai negara diseluruh penjuru dunia. Dengan demikian, dari sisi kepentingan pemenuhan kebutuhan keberagamaan seseorang, hal ini juga membuktikan bahwa hak spiritual merupakan suatu kebutuhan yang bersifat universal.



Jalaluddin Rahmat, "Penelitian Agama", dalam Taufiq Abdullah dan Rusli Karim (ed), Penelitian Agama : Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1989.
Persatuan Pengguna Islam Malaysia, Mencari Yang Halal, Panduan Untuk Pengguna Muslim, Tanpa tahun.
Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia,  2012.   



[1] Dinukil dari Ro’fah Setyowati, Hak Spiritual Nasabah Perbankan Syariah Dalam Perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Papers Prosiding Seminar Nasional dan Call For Papers Hukum Islam dan Permasalahan Penegakannya di Indonesia, Tema seminar : Penegakan Hukum Perbankan Syariah Berbasis Syariah, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 19 September 2012.
[2] Istilah ‘hak spiritual’ ini merupakan salah satu elemen yang diperlukan sekaligus menjadi dasar pijakan bagi konsep ‘perlindungan syariah’. Penulis memperkenalkan konsep baru tentang ‘perlindungan syariah’ ini melalui beberapa kajian yang dilakukan sejak tahun 2009. Konsep tersebut telah diperkenalkan dalam jurnal, beberapa makalah konferensi dan seminar serta disertasi antara lain : (1) Ro’fah Setyowati, Perlindungan Nasabah Perbankan Syariah, International Conference Corporate Law (ICCL I - 2009), Kerjasama FH UNAIR Surabaya dengan Universiti Utara Malaysia (UUM), 1-3 Jun 2009; (2) Ro’fah Setyowati, Sakina Shaik Ahmad Yussof. 2011. Hak-hak pengguna perbankan Islam di Indonesia: pendekatan harmonisasi terhadap perundangan sedia ada, Makalah, Seminar Kebangsaan Persatuan Ekonomi Pengguna Dan Keluarga Malaysia (Macfea) Ke-15. 19-20 Julai; (3) Ro’fah Setyowati, ‘Perlindungan “Khusus” Bagi Nasabah Perbankan Syariah Di Indonesia Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen’, Masalah-masalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Jilid 39 No. 3, September 2010, ISSN 2086-2695; (4) Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2012, Bab VII.
[3] Jalaluddin Rahmat, "Penelitian Agama", dalam Taufiq Abdullah dan Rusli Karim (ed), Penelitian Agama : Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1989.
[4] Hal demikian sebagaimana dinyatakan oleh Ma’amor dan dikuatkan oleh Nadzim. Persatuan Pengguna Islam Malaysia, Mencari Yang Halal, Panduan Untuk Pengguna Muslim, Tanpa tahun, hlm vi.
[5] Banyak makanan dan barang yang mengandung bahan-bahan tidak halal lagi toyyib, seperti kolagen[5] daripada bangkai yang ditembak mati; ari-ari dan janin[5] yang digugurkan dan digunakan dalam kosmetik; derivatif rambut manusia yang ditambahkan ke dalam roti dan pizza; serbuk plasma darah yang diperoleh daripada darah di rumah penyembelihan untuk dibuat bakso ikan, burger serta lain-lainnya.
[6] Kebanyakan konsumen Muslim tidak sadar terhadap pelanggaran hak-hak yang berkaitan dengan larangan agama pada berbagai barang yang merusakkan aqidah. Wawancara dengan Dato’ Nadzim Johan, Ketua Aktivis dan Setiausaha Persatuan Pengguna Islam Malaysia, Kuala Lumpur, 22 Januari 2011. Lihat Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2012, h. 80.    
[7] Di India, pernah berlaku pembakaran sebuah restoran yang menghidangkan makanan yang mengandungi daging lembu bagi para pelanggan yang beragama Hindu. Memandangkan dalam pengenalannya restoran tersebut telah menyatakan tidak mengandungi daging lembu, maka apabila para pelanggan mengetahui yang sebenar, perkara ini menimbulkan kemarahan yang mengakibatkan kepada kerosakan yang dilakukan secara bersama-sama oleh para pelanggan kepada restoran tersebut. Berhubung kait dengan perkara ini, pihak pemilik restoran sadar telah melanggar hak-hak spiritual pelanggan beragama Hindu. Oleh itu, seterusnya restoran tersebut ditutup. Wawancara dengan Dato’ Nadzim Johan, Ketua Aktivis dan Setiausaha Persatuan Pengguna Islam Malaysia (PPIM), Kuala Lumpur, 22 Januari 2011. Lihat Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2012,      
[8] Wawancara dengan Mohd Mustaffa Hamzah, Aktivis Perlindungan Konsumen, Persatuan Pengguna Islam Malaysia (PPIM), Kuala Lumpur, 22 Januari 2011. Lihat Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2012, h. 80.    

Minggu, 05 Februari 2012

Pengertian Hukum Ekonomi Syariah

Pengertian Hukum Ekonomi Syariah
Oleh: Ro'fah Setyowati

Studi tentang ekonomi Islam sudah cukup lama, setua agama Islam itu sendiri. Sebagain besar landasan tentang ekonomi syariah dijumpai dalam literatur Islam seperti tafsir Al Qur’an, syarah al Hadits, dan kitab-kitab fiqh yang ditulis oleh cendekiawan muslim terkenal, diantaranya Abu Yusuf, Abu Hanifah, Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah dan sebagainya.
Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, tentu sangat berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari syari’at dalam agama Islam. Dengan demikian, pelaksanaan syari’at agama yang berupa hukum-hukum merupakan salah satu parameter ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya.[1]
Guna memahami pengertian hukum ekonomi syariah, maka diperlukan pemahaman terhadap ekonomi syariah secara umum, dan seterusnya mengerucut pada istilah hukum ekonomi syariah itu sendiri.

a.    Ekonomi Syariah
Istilah ekonomi syari’ah atau perekonomian syari’ah hanya dikenal di Indonesia. Sementara di negara-negara lain, istilah tersebut dikenal dengan nama ekonomi Islam (Islamic economy, al-iqtishad al-islami) dan sebagai ilmu disebut ilmu ekonomi Islam (Islamic economics‘ ilm ai-iqtishad al-islami).
Ekonomi atau ilmu ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi atau ilmu ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa ini. Perbedaan tersebut terutama  dikarenakan, ekonomi Islam terikat kepada nilai-nilai agama Islam, sedangkan ekonomi konvensional memisahkan diri dari agama sejak negara-negara Barat berpegang kepada sekularisme dan menjalankan politik sekularisasi.[2] Sungguhpun demikian, pada dasarnya tidak ada ekonomi yang terpisah dari nilai atau tingkah laku manusia. Namun, pada ekonomi konvensional, nilai yang digunakan adalah nilai-nilai duniawi semata (profane, mundane).
Kajian ilmu ekonomi secara umum sebenarnya menyangkut sikap tingkah laku manusia terhadap masalah produksi, distribusi, konsumsi barang-barang komoditi dan pelayanan. Kajian ilmu ekonomi Islam dari segi ini tidak berbeda dari ekonomi sekuler, akan tetapi dari segi lain ia terikat dengan nilai-nilai Islam,[3] atau dalam istilah sehari-hari, terikat dengan ketentuan halal-haram.[4]
Implementasi dari sistem syariah bisa dibedakan dalam 2 dimensi, makro dan mikro. Dimensi makro lebih menekankan pengaturan ekonomi masyarakat dari sisi etis dan filosofis, seperti bagaimana distribusi kekayaan yang seharusnya oleh negara, pelarangan riba, dan kegiatan ekonomi yang tidak memberikan manfaat, sedangkan pada dimensi mikro lebih menekankan pada aspek profesionalisme dan kompentensi dari pelaksana.
Beberapa nilai-nilai islam yang dapat dilihat dalam konsep makro yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat antara lain :
*      Kaidah Zakat: mengkondisikan perilaku masyarakat yang lebih menyukai berinvestasi dibanding dengan hanya menyimpan hartanya. Aplikasi dari konsep ini terlihat di antaranya pada penetapan besaran pada Zakat Investasi dikenakan hanya pada hasil investasinya, sedangkan pada Zakat Harta Simpanan, dikenakan atas pokoknya;
*      Kaidah Pelarangan Riba: menganjurkan pembiayaan bersifat bagi hasil (equity based financing) dan melarang riba. Seterusnya, sebagai konsekwensi utamanya - diarahkan pada keberanian berusaha dengan menghadapi resiko;
*      Kaidah Pelarangan Judi–Maisir: tercermin dari larangan investasi yang tidak memiliki kaitan dengan sektor riil. Konsekwensi dari konsep ini juga mengarah kepada pengajaran pola hidup produktif dan tidak konsumtif;
*      Kaidah Pelarangan Gharar: mengutamakan transparansi dalam transaksi dan kegiatan operasi lainnya dan menghindari ketidak-jelasan.
Sedangkan nilai-nilai Islam dalam dimensi mikro menghendaki semua dana yang diperoleh dalam sistem ekonomi Islam dikelola dengan integritas tinggi dan sangat hati-hati. Demi menjalankan maksud tersebut, beberapa sifat yang telah ditauladankan oleh Rasulullah SAW yaitu:
*      Shiddiq: memastikan bahwa pengelolaan usaha dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, dan tidak dengan cara-cara yang meragukan (subhat) terlebih lagi yang bersifat dilarang (haram).
*      Tabligh: dalam istilah praktis dimaksudkan secara sustainable melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip Islam yang perlu dijadikan pedoman dalam bermuamalah, termasuk segala manfaat dan resiko yang menyertainya serta cara mengatasinya bagi pengguna. Dalam konteks ini pula, sebaiknya tidak mengedepankan pemenuhan prinsip syariah semata, namun juga harus dipadukan dengan berbagai situasi dan kondisi sosial masyarakat.
*      Amanah: menjaga dengan ketat prinsip kehatia-hatian dan kejujuran dalam mengelola dana yang diperoleh dari shahibul maal selaku pemilik dana, sehingga timbul saling percaya antara pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib).
*      Fathanah: memastikan bahwa pengelola usaha berbasis syariah dilakukan secara profesional dan kompetitif sehingga menghasilkan keuntungan maksimum, termasuk pengelolaan dengan penuh kesantunan (ri’ayah) dan penuh rasa tanggung jawab (mas’uliyah).[5]
Berdasarkan penjelasan Pasal 49 Huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama , yang dimaksud dengan Ekonomi Syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syarlah; meliputi: a. Bank Syariah; b.asuransi syariah; c. reasuransi syariah; d. reksa dana syariah; e. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; f. sekuritas syariah, g. pembiayaan syariah; h. pegadaian syariah; i. dana pensiun lembaga keuangan syariah; j. bisnis – syariah; dan k. lembaga keuangan mikro syariah.

b.    Hukum Ekonomi Syariah
Kata hukum yang dikenal dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan (judgement) atau ketetapan (Provision). Dalam ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya.[6]
Sebagaimana telah disebut diatas, bahwa kajian ilmu ekonomi Islam terikat dengan nilai-nilai Islam, atau dalam istilah sehari-hari terikat dengan ketentuan halal-haram, sementara persoalan halal-haram merupakan salah satu lingkup kajian hukukm, maka hal tersebut menunjukkan keterkaitan yang erat antara hukum, ekonomi dan syariah. Pemakaian kata syariah sebagai fiqh tampak secara khusus pada pencantuman syariah Islam sebagai sumber legislasi dibeberapa negara muslim, perbankan syariah, asuransi syariah, ekonomi syariah.
Dari sudut pandang ajaran Islam, istilah syariah sama dengan syariat (ta marbuthoh dibelakang dibaca dengan ha) yang pengertiannya berkembang mengarah pada makna fiqh, dan bukan sekedar ayat-ayat atau hadits-hadits hukum. Dengan demikian yang dimaksud dengan Ekonomi Syariah adalah dalil-dalil pokok mengenai Ekonomi yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits. Hal ini memberikan tuntutan kepada masyarakat Islam di Indonesia untuk membuat dan menerapkan sistem ekonomi dan hukum ekonomi berdasarkan dalil-dalil pokok yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits. Dengan demikian, dua istilah tersebut, apabila disebut dengan istilah singkat ialah sebagai Sistem Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah.
Sistem Ekonomi Syariah pada suatu sisi dan Hukum Ekonomi Syariah pada sisi lain menjadi permasalahan yang harus dibangun berdasarkan amanah UU di Indonesia. Untuk membangun Sistem Ekonomi Syariah diperlukan kemauan masyarakat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Fiqih di bidang ekonomi, sedangkan untuk membangun Hukum Ekonomi Syariah diperlukan kemauan politik untuk mengadopsi hukum Fiqih dengan penyesuaian terhadap situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Adopsi yang demikian harus merupakan ijtihad para fukoha, ulama dan pemerintah, sehingga hukum bisa bersifat memaksa sebagai hukum.
Dalam konteks masyarakat, ‘Hukum Ekonomi Syariah’ berarti Hukum Ekonomi Islam yang digali dari sistem Ekonomi Islam yang ada dalam masyarakat, yang merupakan pelaksanaan Fiqih di bidang ekonomi oleh masyarakat. Pelaksanaan Sistem Ekonomi oleh masyarakat membutuhkan hukum untuk mengatur guna meciptakan tertib hukum dan menyelesaikan masalah sengketa yang pasti timbul pada interaksi ekonomi. Dengan kata lain Sistem Ekonomi Syariah memerlukan dukungan Hukum Ekonomi Syariah untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang mungkin muncul dalam masyarakat.
Produk hukum ekonomi syariah secara kongkret di Indonesia khususnya dapat dilihat dari pengakuan atas fatwa Dewan Syariah Nasional, sebagai hukum materiil ekonomi syariah, untuk kemudian sebagiannya dituangkan dalam PBI atau SEBI. Demikian juga dalam bentuk undang-undang, seperti contohnya Undang-undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, dan lain sebagainya, diharapkan dapat mengisi kekosongan perundang-undangan dalam bidang ekonomi syaraiah.
Untuk bidang asuransi, reksadana, obligasi dan pasar modal syariah serta lembaga keuangan syariah lainnya tentu juga memerlukan peraturan perundangan tersendiri untuk pengembangannya, selain peraturan perundangan lain yang sudah ada sebelumnya. Bahan baku UU tersebut antaralain ialah kajian fiqh dari para fuqaha. 
Kehadiran hukum ekonomi ysriah dalam tata hukum Indonesia dewasa ini sesungguhnya tidak lagi hanya sekedar karena tuntutan sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama Islam) seperti anggapan sebagian orang/pihak; akan tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi syariah dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kritis tentang mekanisme investasi dengan sistem berbagi laba dan rugi itu diterapkan dan bedampak lebih baik.        

Kegiatan para pelaku ekonomi sebagai subjek hukum selalu menunjukkan kecenderungan semakin mapan dengan frekuensi yang semakin cepat dan jenis hubungan hukum yang semakin beragam. Pada dasarnya hukum ekonomi selalu berkembang berdasarkan adanya;
            1. peluang bisnis/usaha baru;
            2. komoditi baru yang ditawarkan oleh iptek/teknologi;
            3. permintaan komoditi baru;
            4. kecenderungan perubahan pasar;
            5. kebutuhan-kebutuhan baru di dalam pasar;
            6. perubahan politik ekonomi;
            7. berbagai faktor pendorong lain, misalnya pergeseran politik dan pangsa pasar.
Guna memenuhi dan mengantisipasi kemungkinan peluang yang ada, maka ’hukum’ seharusnya mampu memberikan solusi yang sesuai dengan perkembangan dunia bisnis. Dalam kontek ini, kajian hukum yang diperlukan ialah kajian hukum ekonomi dan kajian hukum bisnis yang dipadukan dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian, diharapkan hukum ekonomi/hukum bisnis, pada hakikatnya juga selalu dapat dan mampu berkembang sesuai kebutuhan jaman.
Wallahu’a’lam bishshowab.

-alh-rf-

Bangi, 5 Feb 2012


[1]  Muchsin, SH, “Masa Depan Hukum Islam di Indonesia”, Depok, Kamis, 07 Desember 2006, hal. 2
[2] Khursid Ahmad (ed.), Studies in Islamic Economics (Leicester: The Islamic Foundation, 1983),  hal . xii-xvii
[3] Monser Kahf, diterjemahkan oleh Rifyal Ka’bah, Deskripsi Ekonomi Islam (Jakarta: Penerbit Minaret, 1987), hal. 11
[4] Rifyal Ka’abah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama,  Majalah Hukum VARIA PERADILAN Tahun ke XXI No. 245 APRIL 2006, hal. 12

[5]  Rahmat Riyadi, ” Konsep dan Strategi Pemberdayaan LKMS di Indonesia”,  Seminar Nasional Kontribusi Hukum Dalam Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS), Bagian Keperdataan dan Pusat Kajian Hukum Ekonomi Islam Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 18 Desember 2007, hal. 4-5
[6]  HA. Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, FIK-IMA, 1997, hal. 571

Sabtu, 04 Februari 2012

Hukum Ekonomi Syariah: Mengapa Perlu ?

Hukum Ekonomi Syariah: Mengapa Perlu ?

Kehadiran sistem ekonomi syari’ah atau ekonomi yang berbasis syari’ah di Indonesia dalam kurun waktu dua dasawarsa ini sangat menggembirakan. Salah satu indikasinya dapat dilihat dari volume usaha perbankan syariah. Tahun 1982, terdapat lebih 150 institusi keuangan Islam di lebih 70 negara dengan aset yang meningkat lebih dari 40 kali lipat hingga mencapai $200 juta lebih.[1] Pada tahun 2007, perkembangan yang terjadi terhadap institusi keuangan Islam adalah pada 75 negara dengan jumlah lebih dari 300 institusi dengan aset US$250 juta.[2] Jumlah tersebut meningkat sampai 500 pada tahun 2009.[3] Kawasan perkembangannya meliputi seluruh benua yang bermula dari Afrika, Asia, Eropa, Amerika Serikat dan Australia.[4]
Khusus di Indonesia, di akhir tahun 1999 yang semula hanya sebesar Rp 1,1 triliun dan kemudian di akhir tahun 2005 mencapat Rp 20,88 triliun. Hal ini jelas menunjukkan perkembangan yang menakjubkan, yakni mencapai pertumbuhan 1800 % dalam 6 tahun, atau rata-rata 300% pertahun. Walaupun, market share perbankan Indonesia pada waktu itu, baru mencapai sekitar 2% [5]. Hal ini menunjukkan bahwa potensi dan peran perbankan syariah dalam mendorong pembangunan di Indonesia masih perlu terus ditingkatkan. Selain itu, perkembangan terkini dari perbankan syariah di Indonesia dapat juga dilihat dari aspek jumlah lembaganya.

Jumlah institusi perbankan syariah tahun 2005
Tahun 2005 : 550
Tahun 2006 : 637
Tahun 2007 : 782
Tahun 2008 : 1.024
Tahun 2009 : 1.223
Tahun 2010 : 1.763
Tahun 2011 : 1.877 (sampai bulan Mei 2011)
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, Bank Indonesia, Mei 2011. Termasuk di dalamnya Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah beserta Cabang-cabangnya.

Sampai saat ini, bidang perbankan syariah merupakan lembaga keuangan syariah yang paling menonjol dari berbagai aspeknya. Sementara beberapa bidang jasa berbagai macam lembaga keuangan syariah juga mulai muncul dan berkembang, seperti antara lain : asuransi, pegadaian, pasar modal, reksadana, obligasi, sukuk dan lain-lain.

Maraknya sistem ekonomi syari’ah yang demikian merupakan salah satu indikasi bahwa kesadaran ummat terhadap penerapan sistem kehidupan Islami (menjadi muslim secara kaafah/total) semakin meningkat. Sebagaimana perintah agama untuk ber-Islam dalam keseluruhan aspek kehidupan, termasuk dalam menggunakan jasa transaksi perbankan. Perintah tersebut sebagaimana tertuang dalam QS Al Baqarah : 208 yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kedalam Islam secara kaafah (keseluruhan), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syetan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu”.

Fenomena menarik lain terkait dengan hal ini diantaranya bahwa sistem ekonomi berbasis syari’ah ini juga diminati oleh para pelaku bisnis maupun konsumen non muslim. Hal demikian secara tidak langsung membuktikan bahwa Islam merupakan agama rahmatan lil ’alamin (rahmat bagi alam semesta). Salah satu bukti yangterdapat di Negara tetangga, Malaysia, seperti dinyatakan oleh Datuk Ahmad Tajuddin Abdurrahman, Managing Direktor dari Bank Islam Malaysia Berhad yang manyatakan bahwa lebih dari 70 % perdagangan yang dibiayai oleh Bank Islam digunakan oleh mereka yang non-muslim.[6] Dengan demikian, kepentingan untuk mempelajari sistem dan hukum ekonomi Islam menjadi kebutuhan yang tidak lagi hanya bagi pemeluk Islam. Apabila dikaji lebih jauh, maka akan ditemukan bukti yang semakin tegas akan “kekuatan” sistem dan hukum ekonomi Islam tersebut. Bukti lain, pada kenyataannya, di semua benua, telah terdapat institusi perbankan syariah dengan berbagai model.

Melihat fenomena demikian, diperlukan kajian-kajian hukum ekonomi syariah yang diperlukan untuk mendukung berbagai keperluan perkembangan institusi-institusi ekonomi syariah tersebut. Sementara interaksi antara hukum dengan ekonomi merupakan hal yang tidak bisa dielakkan lagi. Dengan demikian, kajian-kajian hukum terhadap perkembangan sistem ekonomi syari’ah mutlak perlu dikembangkan, seiring dengan pesatnya penerapan sistem ekonomi syariah terasebut, baik dalam skala nasional, regional, maupun internasional. Oleh karenanya, secara akademis, kajian hukum sangat penting, mengingat hingga kini belum banyak kajian dari aspek hukum terhadap persoalan ini jika dibandingkan dengan jumlah kajian-kajian dalam bidang ekonomi.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa guna memenuhi dan mengantisipasi berbagai kemungkinan dan peluang yang ada, kajian hukum seharusnya mampu memberikan kontribusi yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan dunia bisnis berbasis syariah tersebut. Dalam konteks tersebut maka kajian Hukum Ekonomi Syariah adalah mutlak perlu dikembangkan jika bersandarkan pada harapan, agar berbagai institusi ekonomi syariah yang ada dapat berdiri tegak dalam memberikan layanan bermanfaat n tetap sesuai syariah, baik di Indonesia, maupun di berbagai belahan bumi lainnya.

Wallahu'a'lam bishshowab.

[1] Ibrahim Warde, Islamic Finance in The Global Economy, Terjemahan Anriyadi Ramli, Edinburgh University Press, Edinburgh, 2000, hlm 537.
[2] Sudin Haron, Wan Nursofiza Wan Azmi, Islamic Finance and Banking Sistim Philosophies, Principles & Practices, McGraw-Hill, Malaysia, 2009 hlm 45.
[3] Islamic Banking And Finance In South-East Asia - Its Development And Future (3rd Edition), World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Http://Www.Worldscibooks.Com/Economics/8149.Html, (diunduh 26 Oktober 2011), hlm xxii.
[4] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Shariah di Indonesia, Cetakan ke-3, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm 55.
[5] Hari Azhar Aziz, Catatan Perkembangan Pembahasan Rancangan Undang-undang Tentang Perbankan Syari’ah di DPR, Seminar Nasional Reformulasi Sistem Ekonomi Syari’ah dan Legislasi Nasional, BPHN Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Semarang, 6-8 Juni 2006. Hal. 3.
[6] Sutan Remi Sjahdaeni, Perbankan Syariah Suatu Alternatif Kebutuhan Pemiayaan Masyarakat, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 20, Agustus September 2002, hal. 10.

Salam Silaturrahim

Assalaamu’alaikum wr wb.
Bismillaahirrohmaanirrohiim.

Segala puji hanya milik Allah SWT yang telah memperjalankan setiap hamba dari suatu tempat, keadaan, kedudukan atau program menuju ke tempat, keadaan, kedudukan atau program yang lain. Rasa syukur yang tak terukur ditujukan atas bimbingan dan pertolongan-Nya, hingga Blog Khazanah Hukum Ekonomi Syariah ini dapat dirintis. Media blog ini bertujuan untuk berbagi dalam pengembangan khazanah ilmu hukum ekonomi syariah dengan para pemerhati dan peminat kajian hukum ekonomi syariah. Harapan sepenuhnya juga hanya layak ditujukan kepada Allah agar melimpahkan rahmat kemampuan dan keistiqomahan dalam menapak pada jalan kebenaran, kebaikan dan keutamaan. Diharapkan seluruh kegiatan pengabdian dalam bidang ilmu yang demikian, mendatangkan manfaat seluas-luasnya dalam rangka berperan serta menselaraskan dan mensejahterakan alam semesta beserta isinya. Kalaupun masih terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan dalam blog ini, semoga Allah SWT mengampuni dan memberi kemampuan dan kesempatan untuk memperbaiki. Tegur sapa dan koreksi dari para pemerhati amat kami hargai.
Walhamdulillaahirobbil ‘alamiin.
Wassalaamu’alaikum wr wb.

Bangi, 4 Februari 2012


Ro'fah Setyowati