Mengenal ’Hak Spiritual’ :
Kebutuhan Universal bagi Setiap Konsumen[1]
Ro’fah Setyowati
Pengambilan istilah ‘hak spiritual’ dalam kajian ini
terinspirasi sekaligus mengacu pada hak-hak lain, seperti antara lain hak
ekonomi, hak politik, hak lingkungan, hak perdata dan lain sebagainya. Meskipun
dalam tataran pengertian, ‘hak spiritual’ mudah untuk difahami, namun sebagai
suatu kesatuan istilah, relatif ‘baru’.[2] Oleh
karen itu, penting untuk diperkenalkan kepada masyarakat tentang beberapa hal
terkait dengan hak spiritual ini, mengingat, hak ini merupakan bagian penting
dalam kehidupan masyarakat sebagai pribadi maupun sebagai konsumen, khususnya
di lingkungan masyarakat yang menjunjung tinggi aspek spiritualitas seperti
Indonesia salah satunya.
Spiritualitas manusia merupakan suatu aspek manusia yang
bersifat universal. Guna mendapatkan pemahaman lebih lengkap tentang
‘spiritual’, dapat memanfaatkan dua pendekatan makna. Secara morfologis,
‘spiritual’ berdekatan dengan makna persembahan, dimensi supranatural, berbeda
dengan dimensi fisik, perasaan atau pernyataan jiwa, sesuatu yang suci, pemikiran
yang intelektual dan berkualitas, adanya perkembangan pemikiran dan perasaan,
adanya perasaan humor, ada perubahan hidup dan berhubungan dengan organisasi
keagamaan. Sedangkan berdasarkan etimologinya, spiritual berarti sesuatu yang
mendasar, penting, dan mampu menggerakkan serta memimpin cara berpikir dan
bertingkah laku seseorang. Jika kedua pemaknaan tersebut dipadukan, dapat
diambil benang merah pemaknaan spiritual sebagai kebutuhan manusia
terhadap sesuatu yang lebih besar dan kuat sehingga mampu menggerakkan, lebih baik
dan suci sehingga layak untuk dari diri
manusia itu. ’spirit’ atau
semangat yang demikian mencakup inner life individu,
seperti idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan dan pengharapannya terhadap dzat
Yang Mutlak. Spiritualitas juga termasuk bagaimana
individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam
pemaknaan terhadap ‘spiritualitas’, Jalaludin Rahmat[3]
mempunyai pandangan tentang relevansi kuat antara spiritual dengan keberagamaan.
Hal ini bisa dilihat dari aspek-aspek spiritual yang dinyatakannya mempunyai
cakupan:
- Aspek ideologis adalah seperangkat kepercayaan (belief) yang memberikan premis aksistensial.
- Aspek ritualistik adalah aspek pelaksanaan ritual/ibadah suatu agama.
- Aspek eksperiensial adalah bersifat afektif : keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama, yang membawa pada religious feeling.
- Aspek intelektual adalah pengetahuan agama : seberapa jauh tingkat melek agama pengikut agama yang bersangkutan, tingkat ketertarikan penganut agama untuk mempelajari agamanya.
- Aspek konsekuensial, disebut juga aspek sosial. Aspek ini merupakan implementasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama sehingga dapat menjelaskan efek ajaran agama terhadap, seperti etos kerja, kepedulian, persaudaraan, dan lain sebagainya.
Dua
aspek yang pertama merupakan aspek kognitif keagamaan. Dua yang terakhir
merupakan aspek behavioral, dan yang lainnya merupakan aspek afektif
keberagaman. Makna-makna di atas menunjukkan bahwa aspek spiritual menunjuk
pada perspektif agama terhadap sustu hal. Dengan demikian, jika dikaitkan
dengan kebutuhan konsumen, maka yang dimaksud ‘hak spiritual’ konsumen adalah
hak yang dilandaskan pada ajaran agama konsumen yang bersangkutan. Dalam skop
kajian berkait dengan perbankan syariah, maka konsumen yang dimaksud dalam hal
ini adalah konsumen muslim yang menjadi sasaran awal didirikannya perbankannya
syariah, meskipun pada perkembangannya, konsumen perbankan syariah telah meluas
hingga cukup banyak nasabah beragama non muslim.
Dalam Surah al Baqarah ayat 168 yang menyatakan: “Wahai
sekalian manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal[1]
lagi baik, dan janganlah kamu ikut jejak langkah syaitan, karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” Selain itu, dalam hadith yang
diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir r.a :
Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, sambil Nukman
memegang kedua belah telinganya: Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan
perkara haram itupun jelas. Manakala di antara keduanya terdapat perkara-perkara
syubhah yang tidak diketahui oleh
banyak orang. Oleh itu barangsiapa menjaga diri dari perkara syubhah, dia telah bebas (dari kecaman)
untuk agamanya dan kehormatannya dan
siapa yang terjerumus ke dalam syubhah,
bererti dia telah terjerumus ke dalam perkara haram, seperti pengembala yang
mengembala di sekitar kawasan larangan, maka kemungkinan besar binatangnya akan
memasuki kawasan tersebut....
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut di atas, bagi
seorang Muslim, “spirit” kehidupannya lebih banyak bersumber dari keyakinan
agama Islam itu sendiri. Oleh karena itu, persoalan spiritual sangat penting
bagi masyarakat yang memegang teguh keyakinan yang berdasarkan pada agama.
Rasionalitas dari ‘hak spiritual’ yang bersumberkan ajaran agama antara lain disebabkan
setiap ajaran agama mempunyai ketentuan atau ajaran baik berbentuk perintah maupun
larangan. Dalam hal perintah agama, kewajiban pemeluk agama ialah mengikuti,
sedangkan dalam hal larangan maka bentuk kewajibannya adalah menghindari. Kewajipan
ini berlaku di mana saja dan kapan saja, artinya tanpa memandang tempat dan waktu.
Oleh karena itu, hal yang demikian dapat dikatakan sebagai kebutuhan universal
yang melekat pada setiap konsumen yang mengamalkan agama sehingga hal demikian
menjadi hak yang semestinya mendapat perlindungan pula. Hal ini disebabkan pengabaian
terhadap aspek spiritual sebagai hak konsumen ini banyak terjadi,[4]
khususnya yang berkaitan dengan agama Islam.[5] Hal
sedemikian sangat merugikan kepentingan konsumen khususnya Muslim.[6]
Berdasarkan rasional yang menjustifikasi aspek spiritual yang
bersumberkan kepada agama di atas, maka konsumen Muslim mempunyai keperluan
khusus terhadap barang/jasa yang digunakan mesti sesuai dengan keyakinan agama.
Pada asasnya kepentingan
yang bersifat spiritual ini tidak hanya bagi konsumen Muslim. Perkara demikian
seperti konsumen beragama Hindu di India yang tidak memakan makanan yang
mengandung daging sapi (lembu). Maka jika terdapat pengusaha yang tidak memberi
perhatian dalam perkara ini, para konsumen mempunyai hak spiritual meskipun
dengan cara yang paling mudah bagi mereka.[7]
Dari fenomena yang ada
menggambarkan bahwa pada kenyatannya masih banyak pengusaha yang tidak memberi
perhatian terhadap kepentingan konsumen berkait dengan aspek spiritual ini.
Oleh karena itu, kebutuhan konsumen yang demikian perlu mendapat perlindungan
dan diperjuangkan.[8]
Dalam konteks perlindungan konsumen,
perlu diberikan penekanan pada kepentingan aspek spiritual konsumen bagi yang
beragama Islam. Hal ini mengingat setiap Muslim mempunyai kewajiban menghindarkan
diri dari sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Dengan demikian, dalam konsep yang luas, permasalahan halal
dan toyib tidak hanya berlaku dalam konteks makanan, melainkan pada semua aspek
kehidupan seseorang Muslim. Oleh karenanya, termasuk pula kesesuaian dengan
prinsip syariah dalam beraktivitas dalam bidang perbankan. Hal yang demikian
telah menjadi kesadaran yang menggerakkan hingga didirikannya lembaga perbankan
Islam di berbagai negara diseluruh penjuru dunia. Dengan demikian, dari sisi
kepentingan pemenuhan kebutuhan keberagamaan seseorang, hal ini juga
membuktikan bahwa hak spiritual merupakan suatu kebutuhan yang bersifat
universal.
Jalaluddin Rahmat, "Penelitian
Agama", dalam Taufiq Abdullah dan Rusli Karim (ed), Penelitian Agama :
Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1989.
Persatuan Pengguna Islam
Malaysia, Mencari Yang Halal, Panduan
Untuk Pengguna Muslim, Tanpa tahun.
Ro’fah Setyowati,
Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan
Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2012.
[1] Dinukil dari Ro’fah Setyowati, Hak Spiritual
Nasabah Perbankan Syariah Dalam Perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Di Indonesia, Papers Prosiding Seminar Nasional dan Call For Papers Hukum Islam dan Permasalahan
Penegakannya di Indonesia, Tema seminar : Penegakan Hukum Perbankan Syariah
Berbasis Syariah, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 19 September
2012.
[2] Istilah ‘hak
spiritual’ ini merupakan salah satu elemen yang diperlukan sekaligus menjadi
dasar pijakan bagi konsep ‘perlindungan syariah’. Penulis
memperkenalkan konsep baru tentang ‘perlindungan syariah’ ini melalui beberapa
kajian yang dilakukan sejak tahun 2009. Konsep tersebut telah diperkenalkan
dalam jurnal, beberapa makalah konferensi dan seminar serta disertasi antara
lain : (1) Ro’fah Setyowati, Perlindungan Nasabah Perbankan Syariah, International Conference Corporate Law
(ICCL I - 2009), Kerjasama FH UNAIR Surabaya dengan Universiti Utara Malaysia
(UUM), 1-3 Jun 2009; (2) Ro’fah Setyowati, Sakina Shaik Ahmad Yussof. 2011. Hak-hak pengguna perbankan Islam di Indonesia:
pendekatan harmonisasi terhadap perundangan sedia ada, Makalah, Seminar
Kebangsaan Persatuan Ekonomi Pengguna Dan Keluarga Malaysia (Macfea) Ke-15. 19-20 Julai; (3) Ro’fah Setyowati, ‘Perlindungan “Khusus” Bagi Nasabah Perbankan Syariah
Di Indonesia Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen’, Masalah-masalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Jilid 39 No. 3, September 2010, ISSN
2086-2695; (4) Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian Perbankan
Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2012, Bab VII.
[3] Jalaluddin
Rahmat, "Penelitian Agama", dalam Taufiq Abdullah dan Rusli
Karim (ed), Penelitian Agama : Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Tiara Wacana,
1989.
[4] Hal demikian
sebagaimana dinyatakan oleh Ma’amor dan dikuatkan oleh Nadzim. Persatuan
Pengguna Islam Malaysia, Mencari Yang Halal,
Panduan Untuk Pengguna Muslim, Tanpa tahun, hlm vi.
[5] Banyak makanan dan
barang yang mengandung bahan-bahan tidak halal lagi toyyib,
seperti kolagen[5]
daripada bangkai yang ditembak mati; ari-ari dan janin[5] yang
digugurkan dan digunakan dalam kosmetik; derivatif rambut manusia yang
ditambahkan ke dalam roti dan pizza; serbuk plasma darah yang diperoleh
daripada darah di rumah penyembelihan untuk dibuat bakso ikan, burger serta
lain-lainnya.
[6] Kebanyakan konsumen
Muslim tidak sadar terhadap pelanggaran hak-hak yang berkaitan dengan larangan
agama pada berbagai barang yang merusakkan aqidah. Wawancara dengan Dato’
Nadzim Johan, Ketua Aktivis dan Setiausaha Persatuan Pengguna Islam Malaysia,
Kuala Lumpur, 22 Januari 2011. Lihat Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian
Perbankan Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan Konsumen, Disertasi,
Universiti Kebangsaan Malaysia, 2012, h. 80.
[7] Di India, pernah
berlaku pembakaran sebuah restoran yang menghidangkan makanan yang mengandungi
daging lembu bagi para pelanggan yang beragama Hindu. Memandangkan dalam
pengenalannya restoran tersebut telah menyatakan tidak mengandungi daging
lembu, maka apabila para pelanggan mengetahui yang sebenar, perkara ini
menimbulkan kemarahan yang mengakibatkan kepada kerosakan yang dilakukan secara
bersama-sama oleh para pelanggan kepada restoran tersebut. Berhubung kait
dengan perkara ini, pihak pemilik restoran sadar telah melanggar hak-hak
spiritual pelanggan beragama Hindu. Oleh itu, seterusnya restoran tersebut
ditutup. Wawancara dengan Dato’ Nadzim Johan, Ketua Aktivis dan Setiausaha
Persatuan Pengguna Islam Malaysia (PPIM), Kuala Lumpur, 22 Januari 2011. Lihat
Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia Dalam
Perspektif perlindungan Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2012,
[8] Wawancara dengan
Mohd Mustaffa Hamzah, Aktivis Perlindungan Konsumen, Persatuan Pengguna Islam
Malaysia (PPIM), Kuala Lumpur, 22 Januari 2011. Lihat Ro’fah Setyowati,
Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan
Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2012, h. 80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar