Sabtu, 24 November 2012

Mengenal ’Hak Spiritual’ : Kebutuhan Universal bagi Setiap Konsumen


Mengenal ’Hak Spiritual’ :
Kebutuhan Universal bagi Setiap Konsumen[1]

Ro’fah Setyowati

Pengambilan istilah ‘hak spiritual’ dalam kajian ini terinspirasi sekaligus mengacu pada hak-hak lain, seperti antara lain hak ekonomi, hak politik, hak lingkungan, hak perdata dan lain sebagainya. Meskipun dalam tataran pengertian, ‘hak spiritual’ mudah untuk difahami, namun sebagai suatu kesatuan istilah, relatif ‘baru’.[2] Oleh karen itu, penting untuk diperkenalkan kepada masyarakat tentang beberapa hal terkait dengan hak spiritual ini, mengingat, hak ini merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat sebagai pribadi maupun sebagai konsumen, khususnya di lingkungan masyarakat yang menjunjung tinggi aspek spiritualitas seperti Indonesia salah satunya.
Spiritualitas manusia merupakan suatu aspek manusia yang bersifat universal. Guna mendapatkan pemahaman lebih lengkap tentang ‘spiritual’, dapat memanfaatkan dua pendekatan makna. Secara morfologis, ‘spiritual’ berdekatan dengan makna persembahan, dimensi supranatural, berbeda dengan dimensi fisik, perasaan atau pernyataan jiwa, sesuatu yang suci, pemikiran yang intelektual dan berkualitas, adanya perkembangan pemikiran dan perasaan, adanya perasaan humor, ada perubahan hidup dan berhubungan dengan organisasi keagamaan. Sedangkan berdasarkan etimologinya, spiritual berarti sesuatu yang mendasar, penting, dan mampu menggerakkan serta memimpin cara berpikir dan bertingkah laku seseorang. Jika kedua pemaknaan tersebut dipadukan, dapat diambil benang merah pemaknaan spiritual sebagai kebutuhan manusia terhadap sesuatu yang lebih besar dan kuat sehingga mampu menggerakkan, lebih baik dan suci sehingga layak untuk  dari diri manusia itu. ’spirit’ atau semangat yang demikian mencakup inner life individu, seperti idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan dan pengharapannya terhadap dzat Yang Mutlak. Spiritualitas juga termasuk bagaimana individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pemaknaan terhadap ‘spiritualitas’, Jalaludin Rahmat[3] mempunyai pandangan tentang relevansi kuat antara spiritual dengan keberagamaan. Hal ini bisa dilihat dari aspek-aspek spiritual yang dinyatakannya mempunyai cakupan:
  1. Aspek ideologis  adalah seperangkat kepercayaan (belief) yang memberikan premis aksistensial.
  2. Aspek ritualistik adalah aspek pelaksanaan ritual/ibadah suatu agama.
  3. Aspek eksperiensial adalah bersifat afektif : keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama, yang membawa pada religious feeling.
  4. Aspek intelektual adalah pengetahuan agama : seberapa jauh tingkat melek agama pengikut agama yang bersangkutan, tingkat ketertarikan penganut agama untuk mempelajari agamanya.
  5. Aspek konsekuensial, disebut juga aspek sosial. Aspek ini merupakan implementasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama sehingga dapat menjelaskan efek ajaran agama terhadap, seperti etos kerja, kepedulian, persaudaraan, dan lain sebagainya.
Dua aspek yang pertama merupakan aspek kognitif keagamaan. Dua yang terakhir merupakan aspek behavioral, dan yang lainnya merupakan aspek afektif keberagaman. Makna-makna di atas menunjukkan bahwa aspek spiritual menunjuk pada perspektif agama terhadap sustu hal. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan kebutuhan konsumen, maka yang dimaksud ‘hak spiritual’ konsumen adalah hak yang dilandaskan pada ajaran agama konsumen yang bersangkutan. Dalam skop kajian berkait dengan perbankan syariah, maka konsumen yang dimaksud dalam hal ini adalah konsumen muslim yang menjadi sasaran awal didirikannya perbankannya syariah, meskipun pada perkembangannya, konsumen perbankan syariah telah meluas hingga cukup banyak nasabah beragama non muslim.
Dalam Surah al Baqarah ayat 168 yang menyatakan: “Wahai sekalian manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal[1] lagi baik, dan janganlah kamu ikut jejak langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” Selain itu, dalam hadith yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir r.a :
Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, sambil Nukman memegang kedua belah telinganya: Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara haram itupun jelas. Manakala di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhah yang tidak diketahui oleh banyak orang. Oleh itu barangsiapa menjaga diri dari perkara syubhah, dia telah bebas (dari kecaman) untuk agamanya dan kehormatannya dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhah, bererti dia telah terjerumus ke dalam perkara haram, seperti pengembala yang mengembala di sekitar kawasan larangan, maka kemungkinan besar binatangnya akan memasuki kawasan tersebut....
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut di atas, bagi seorang Muslim, “spirit” kehidupannya lebih banyak bersumber dari keyakinan agama Islam itu sendiri. Oleh karena itu, persoalan spiritual sangat penting bagi masyarakat yang memegang teguh keyakinan yang berdasarkan pada agama. Rasionalitas dari ‘hak spiritual’ yang bersumberkan ajaran agama antara lain disebabkan setiap ajaran agama mempunyai ketentuan atau ajaran baik berbentuk perintah maupun larangan. Dalam hal perintah agama, kewajiban pemeluk agama ialah mengikuti, sedangkan dalam hal larangan maka bentuk kewajibannya adalah menghindari. Kewajipan ini berlaku di mana saja dan kapan saja, artinya tanpa memandang tempat dan waktu. Oleh karena itu, hal yang demikian dapat dikatakan sebagai kebutuhan universal yang melekat pada setiap konsumen yang mengamalkan agama sehingga hal demikian menjadi hak yang semestinya mendapat perlindungan pula. Hal ini disebabkan pengabaian terhadap aspek spiritual sebagai hak konsumen ini banyak terjadi,[4] khususnya yang berkaitan dengan agama Islam.[5] Hal sedemikian sangat merugikan kepentingan konsumen khususnya Muslim.[6] Berdasarkan rasional yang menjustifikasi aspek spiritual yang bersumberkan kepada agama di atas, maka konsumen Muslim mempunyai keperluan khusus terhadap barang/jasa yang digunakan mesti sesuai dengan keyakinan agama.
            Pada asasnya kepentingan yang bersifat spiritual ini tidak hanya bagi konsumen Muslim. Perkara demikian seperti konsumen beragama Hindu di India yang tidak memakan makanan yang mengandung daging sapi (lembu). Maka jika terdapat pengusaha yang tidak memberi perhatian dalam perkara ini, para konsumen mempunyai hak spiritual meskipun dengan cara yang paling mudah bagi mereka.[7]
            Dari fenomena yang ada menggambarkan bahwa pada kenyatannya masih banyak pengusaha yang tidak memberi perhatian terhadap kepentingan konsumen berkait dengan aspek spiritual ini. Oleh karena itu, kebutuhan konsumen yang demikian perlu mendapat perlindungan dan diperjuangkan.[8]     Dalam konteks perlindungan konsumen, perlu diberikan penekanan pada kepentingan aspek spiritual konsumen bagi yang beragama Islam. Hal ini mengingat setiap Muslim mempunyai kewajiban menghindarkan diri dari sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Dengan demikian, dalam konsep yang luas, permasalahan halal dan toyib tidak hanya berlaku dalam konteks makanan, melainkan pada semua aspek kehidupan seseorang Muslim. Oleh karenanya, termasuk pula kesesuaian dengan prinsip syariah dalam beraktivitas dalam bidang perbankan. Hal yang demikian telah menjadi kesadaran yang menggerakkan hingga didirikannya lembaga perbankan Islam di berbagai negara diseluruh penjuru dunia. Dengan demikian, dari sisi kepentingan pemenuhan kebutuhan keberagamaan seseorang, hal ini juga membuktikan bahwa hak spiritual merupakan suatu kebutuhan yang bersifat universal.



Jalaluddin Rahmat, "Penelitian Agama", dalam Taufiq Abdullah dan Rusli Karim (ed), Penelitian Agama : Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1989.
Persatuan Pengguna Islam Malaysia, Mencari Yang Halal, Panduan Untuk Pengguna Muslim, Tanpa tahun.
Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia,  2012.   



[1] Dinukil dari Ro’fah Setyowati, Hak Spiritual Nasabah Perbankan Syariah Dalam Perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Papers Prosiding Seminar Nasional dan Call For Papers Hukum Islam dan Permasalahan Penegakannya di Indonesia, Tema seminar : Penegakan Hukum Perbankan Syariah Berbasis Syariah, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 19 September 2012.
[2] Istilah ‘hak spiritual’ ini merupakan salah satu elemen yang diperlukan sekaligus menjadi dasar pijakan bagi konsep ‘perlindungan syariah’. Penulis memperkenalkan konsep baru tentang ‘perlindungan syariah’ ini melalui beberapa kajian yang dilakukan sejak tahun 2009. Konsep tersebut telah diperkenalkan dalam jurnal, beberapa makalah konferensi dan seminar serta disertasi antara lain : (1) Ro’fah Setyowati, Perlindungan Nasabah Perbankan Syariah, International Conference Corporate Law (ICCL I - 2009), Kerjasama FH UNAIR Surabaya dengan Universiti Utara Malaysia (UUM), 1-3 Jun 2009; (2) Ro’fah Setyowati, Sakina Shaik Ahmad Yussof. 2011. Hak-hak pengguna perbankan Islam di Indonesia: pendekatan harmonisasi terhadap perundangan sedia ada, Makalah, Seminar Kebangsaan Persatuan Ekonomi Pengguna Dan Keluarga Malaysia (Macfea) Ke-15. 19-20 Julai; (3) Ro’fah Setyowati, ‘Perlindungan “Khusus” Bagi Nasabah Perbankan Syariah Di Indonesia Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen’, Masalah-masalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Jilid 39 No. 3, September 2010, ISSN 2086-2695; (4) Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2012, Bab VII.
[3] Jalaluddin Rahmat, "Penelitian Agama", dalam Taufiq Abdullah dan Rusli Karim (ed), Penelitian Agama : Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1989.
[4] Hal demikian sebagaimana dinyatakan oleh Ma’amor dan dikuatkan oleh Nadzim. Persatuan Pengguna Islam Malaysia, Mencari Yang Halal, Panduan Untuk Pengguna Muslim, Tanpa tahun, hlm vi.
[5] Banyak makanan dan barang yang mengandung bahan-bahan tidak halal lagi toyyib, seperti kolagen[5] daripada bangkai yang ditembak mati; ari-ari dan janin[5] yang digugurkan dan digunakan dalam kosmetik; derivatif rambut manusia yang ditambahkan ke dalam roti dan pizza; serbuk plasma darah yang diperoleh daripada darah di rumah penyembelihan untuk dibuat bakso ikan, burger serta lain-lainnya.
[6] Kebanyakan konsumen Muslim tidak sadar terhadap pelanggaran hak-hak yang berkaitan dengan larangan agama pada berbagai barang yang merusakkan aqidah. Wawancara dengan Dato’ Nadzim Johan, Ketua Aktivis dan Setiausaha Persatuan Pengguna Islam Malaysia, Kuala Lumpur, 22 Januari 2011. Lihat Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2012, h. 80.    
[7] Di India, pernah berlaku pembakaran sebuah restoran yang menghidangkan makanan yang mengandungi daging lembu bagi para pelanggan yang beragama Hindu. Memandangkan dalam pengenalannya restoran tersebut telah menyatakan tidak mengandungi daging lembu, maka apabila para pelanggan mengetahui yang sebenar, perkara ini menimbulkan kemarahan yang mengakibatkan kepada kerosakan yang dilakukan secara bersama-sama oleh para pelanggan kepada restoran tersebut. Berhubung kait dengan perkara ini, pihak pemilik restoran sadar telah melanggar hak-hak spiritual pelanggan beragama Hindu. Oleh itu, seterusnya restoran tersebut ditutup. Wawancara dengan Dato’ Nadzim Johan, Ketua Aktivis dan Setiausaha Persatuan Pengguna Islam Malaysia (PPIM), Kuala Lumpur, 22 Januari 2011. Lihat Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2012,      
[8] Wawancara dengan Mohd Mustaffa Hamzah, Aktivis Perlindungan Konsumen, Persatuan Pengguna Islam Malaysia (PPIM), Kuala Lumpur, 22 Januari 2011. Lihat Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia Dalam Perspektif perlindungan Konsumen, Disertasi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2012, h. 80.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar